Optimisme ‘Kembalinya’ Kelas Menengah

Jakarta – Dalam beberapa hari ini, masyarakat kelompok kelas menengah di Indonesia tengah menjadi perhatian publik. Bukan saja karena jumlahnya yang demikian besar, tetapi juga peranannya yang sangat critical dan krusial dalam memacu roda perekonomian nasional.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kelompok masyarakat kelas menengah dan menuju kelas menengah masing-masing berkontribusi sekitar 40 persen terhadap total pengeluaran penduduk setiap tahunnya. Dengan demikian, kedua kelompok ini berkontribusi lebih dari 80% terhadap total pengeluaran penduduk.

Sayangnya, sebagian besar kelas menengah ini relatif masih rentan “turun kelas” jika terjadi turbulensi ekonomi. Hal itu selaras dengan data BPS yang menunjukkan bahwa modus atau nilai yang paling sering muncul dari pengeluaran penduduk kelas menengah cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan dan semakin mendekati batas bawahnya.

Misalnya pada 2014, kelompok kelas menengah pada tahun itu adalah masyarakat dengan kelompok pengeluaran Rp 1.059.573 – Rp 5.146.495, sedangkan modus dari kelompok tersebut adalah Rp 1.708.900. Sementara pada 2024, yang tergolong kelompok kelas menengah adalah masyarakat dengan pengeluaran Rp 2.040.262 – Rp 9.909.844, sedangkan modusnya adalah Rp 2.056.494.

Fakta lain, jumlah masyarakat kelas menengah yang kian menyusut dalam lima tahun terakhir. Pada 2019, tercatat jumlah masyarakat kelas menengah mencapai 57,33 juta orang (21,45%). Dua tahun kemudian turun menjadi 53,83 juta orang (19,82%) pada 2021, lalu turun lagi menjadi 49,51 juta orang (18,06%) pada 2022, hingga turun kembali menjadi 48,27 juta orang (17,44%) pada 2023 dan 47,85 juta orang (17,13%) pada 2024.

Pada periode yang sama, jumlah masyarakat menuju kelas menengah bertambah setiap tahunnya. Tercatat masyarakat menuju kelas menengah pada 2019 mencapai 128,85 juta orang (48,20%), 130,82 juta orang (48,17%) pada 2021, 134,93 juta orang (49,21%) pada 2022, 136,92 juta orang (49,47%) pada 2023, dan 137,50 juta orang (49,22%) pada 2024.

Pertanyaannya kini, apa akar masalah yang menyelimuti jutaan kelas menengah hingga “turun kelas”? Sudahkah ada keberpihakan kepada kelas menengah kita minimal untuk dapat bertahan di tengah volatilitas ekonomi global dan sejumlah kebijakan yang ditawarkan pemerintah?

Sejumlah analis pun menyoroti fenomena jutaan masyarakat kelas menengah kita yang “turun kelas”. Ada yang mengungkap kalau kinerja industri manufaktur yang melemah menjadi salah satu pemicu maraknya fenomena kelas menengah yang kian berkurang. Bahkan, berdasarkan laporan terbaru S&P Global dalam laman resminya (2/9), Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia terkontraksi lebih dalam ke level 48,9 pada Agustus 2024.

Indeks yang menggambarkan aktivitas manufaktur nasional itu turun dari bulan sebelumnya yang berada di level 49,3. Menurut Economis Director S&P Global Market Intelligence, Paul Smith, penurunan pada perekonomian sektor manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 ditandai oleh penurunan tajam pada permintaan baru dan output selama 3 tahun. Produksi manufaktur dan permintaan baru pada Agustus 2024 mengalami penurunan paling tajam sejak Agustus 2021.

Tertekannya kinerja industri manufaktur memicu pelaku usaha melakukan efisiensi secara masif, sehingga berdampak terhadap pemangkasan tenaga kerja. Adanya deindustrialisasi prematur atau menurunnya porsi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) juga berimbas kepada pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan, data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat lonjakan PHK telah mencapai 45.762 orang pekerja hingga 23 Agustus 2024.

Jumlah PHK pada Januari-Agustus tahun ini lebih tinggi sekitar 5.000 orang pekerja dibanding periode yang sama 2023. Ujung-ujungnya akan berimbas pada melecutnya angka pengangguran. Dan, yang mencemaskan kita adalah ketika pengangguran ini didominasi orang muda berusia 15-24 tahun, angkanya sekitar 16,42%.

Sejalan dengan itu, menurut laporan BPS, sebanyak 36,89% dari total penduduk kelas menengah atau sekitar 17,65 juta orang merupakan penduduk muda dari kategori Gen Z yang lahir pada 1997-2012 dan Gen Alpha yang lahir pada 2013-2024.

Sementara porsi generasi milenial yang lahir pada 1981 hingga 1996 dalam kelas menengah sebanyak 24,6% atau mencakup 11,77 juta orang dari total kelompok kelas menengah. Hal ini makin memperjelas kerawanan masyarakat kelas menengah yang tidak sebatas “turun kelas”, tetapi bisa juga terjatuh ke jurang pengangguran dan rentan kemiskinan.

Tak hanya itu, fenomena “turun kelas” dari masyarakat kelas menengah kita terjadi karena adanya pergeseran dalam struktur ketenagakerjaan dari sektor formal ke informal. Jumlah serapan tenaga kerja sektor informal tercatat cenderung meningkat. Data BPS menunjukkan, porsi tenaga kerja sektor informal meningkat dari 38,29% terhadap total tenaga kerja pada 2019, kini menjadi 40,64% pada 2024.

Belum lagi pekerja sektor informal relatif mendapatkan upah yang lebih rendah dibanding pekerja sektor formal. Pekerja sektor informal pun disebut lebih rentan terhadap gangguan ekonomi yang berdampak terhadap daya beli dan aktivitas perekonomian nasional.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah memberi fokus perhatian penuh terhadap kelas menengah. Jangan sampai terjadi kebijakan-kebijakan yang saling tumpang tindih dan membebani kelas menengah. Dengan pengelolaan anggaran khusus bagi jaring pengaman sosial kelas menengah, disertai langkah-langkah preventif-progresif setidaknya dapat memunculkan optimisme akan bounce back masyarakat kelas menengah kita menjadi suatu keniscayaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *